Hingga saat ini, istilah Kota Layak Anak, yang dikenal sejak 2005 dan bahkan sudah diatur dalam Permen Kemeneg Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No 11/2011, masih sebatas jargon dan wacana belaka.
"Program ini belum teruji hingga penerapan di tingkat infrastruktur, dan baru sebatas terapan administratif saja," kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, dalam keterangan tertulis beberapa saat lalu (Selasa, 23/7).
Di Hari Anak Nasional ini, Ledia juga menuturkan soal sarana prasanara di kota dan desa yang masih jauh dari pertimbangan keselamatan, keamanan dan kenyamanan bagi anak. Sebutlah misal Jakarta yang merupakan ibukota negara dan merupakan sentra program pemerintah, terlihat jelas jalan, gedung, fasilitas umum dan sosial, masih belum memperthitungkan keramahan pada anak.
"Jembatan penyebrangan banyak yang kondisinya rapuh, licin, membahayakan bagi anak. Area penyebrangan di depan sekolah-sekolah tidak menjadi prioritas. Sebagian besar trotoar boleh dikata rusak dan beralih fungsi sebagai tempat berdagang. Begitu pula ketersediaan area bermain dan sarana publik lain seperti perpustakaan atau taman bacaan, masih minim," beber Leida.
Tak hanya soal sarana fisik, Ledia juga mengingatkan akan maraknya kasus pelecehan anak oleh orangtua, guru, kerabat dan bahkan sesama anak. Rumah, sekolah dan lingkungan bermain tidak lagi menjadi tempat yang aman, nyaman dan indah. Anak kerap mendapat kekerasan fisik, seksual dan intimidasi lain dari orang dewasa di sekitarnya yang dipercaya, seperti orangtua, guru, kerabat, tetangga termasuk dari rekan sepermainan.
"Di sekolah juga bullying marak terjadi. Antara pihak yang merasa lebih super seperti senior kepada junior atau dari yang punya kepada yang tidak punya," katanya.
Bahkan, kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini lebih lanjut, sekarang mulai sering terjadi orang dewasa yang seharusnya melindungi anak, memanfaatkan sistem hukum untuk menjerumuskan anak pada tindak kriminal. [ysa](rmol)
0 komentar:
Posting Komentar