Perjalanan hidup Ranti Aryani menjadi inspirasi bagi umat Islam,
khususnya kaum hawa. Betapa tidak, sejak dia memutuskan untuk menutup
aurat dengan jilbab, banyak diskriminasi yang harus dialami. Bahkan, di
negerinya sendiri, Indonesia.
Pada masa Orde Baru, perempuan yang kini menjadi warga negara Amerika Serikat (AS) itu teringat pengalamannya saat menjadi siswa SMAN 1 Bogor. Saat itu, dia tersandung dengan aturan yang dikeluarkan sekolah.
“Dulu, peraturan seragam sekolah itu diatur oleh Depdikbud. Ada guideline sendiri terkait keseragaman tertentu yang harus dan wajib diikuti. Saat itu jilbab termasuk artikel tambahan. Makanya, jilbab saat itu dilarang pemerintah Orde Baru,” kata Ranti saat ditemui INILAH.COM pada acara bedah buku yang ditulisnya, In God We Trust: Merentang Hijab dari Indonesia sampai Amerika, di Masjid Salman ITB, Jalan Ganecha, Kota Bandung, Jumat (23/8/2013).
Perempuan kelahiran 1 April 1972 itu menceritakan, karena pelarangan tersebut, kasusnya naik hingga ke Pengadilan Bogor. Dengan bantuan orang tua dan sahabatnya yang senasib, Ranti dan kawan-kawan dibantu lembaga bantuan hukum menggugat sekolahnya ke pengadilan atas perlakuan yang tak adil itu.
Namun, belum tuntas permasalahan di meja hijau, wali kota Bogor saat itu mendamaikan antara pihaknya dan sekolah. Akhirnya, Ranti kembali masuk ke sekolah. Berdasarkan pengalamannya pada tahun 1980-90an itu, Ranti kini bisa tersenyum lebar. Sebab, kini tak ada lagi diskriminasi yang dialaminya tak ada lagi. Bahkan, dia senang melihat perempuan Indonesia sekarang bisa bebas menentukan pilihan untuk mengenakan jilbab.
Ujian hidupnya tak berakhir sampai di situ. Di kemudian hari, saat berkarier di United States Air Forces (USAF) diskriminasi serupa terjadi kembali. Ranti dilarang mengenakan jilbab saat menjadi tentara angkatan udara di negeri Paman Sam. Dia hijrah ke AS karena ikut suami, Richard Bennet yang menikah pada 1997.
Pilihan untuk pergi ke kampung halaman suaminya itu sesuatu yang logis. Sebab, katanya, saat itu di Indonesia sedang terjadi krisis moneter yang tidak memungkinkan untuk suaminya tinggal lebih lama di Indonesia. Dia menyebutkan, suaminya yang Muslim itu dulu pergi ke Indonesia sebagai seorang kandidat meraih PhD untuk regional economy di Cornell University.
“Setelah saya lulus dari Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Moestopo Beragama, saya mengikuti ujian persamaan di New York University. Usai lulus pendidikan kedokteran gigi itu saya program praktik residensi selama beberapa tahun. Dari beberapa klinik, saya memilih berpraktik di Lanud AU AS Maxwell, Alabama. Buat saya yang penting adalah further education, new graduate harus menjalani program residensi. Program di USAF itu bergengsi dan terbaik di AS. Itu yang saya pilih, education-nya itu,” tuturnya.
Di tempat barunya, Ranti kembali mengalami diskriminasi karena tak mau menanggalkan jilbabnya dalam seragam dinas tentara. Pengalaman sekolah semasa di Bogor terulang kembali. Ranti kali ini juga berupaya melawan diskriminasi.
Perjuangan Ranti tak mudah. Dia harus memberikan pengertian tentang jilbab dan keyakinannya sebagai kaum minoritas di AS, apalagi pascatragedi 11 September 2001 atau akrab dikenal 9/11. Peristiwa pengeboman gedung WTC itu memberikan trauma nasional bagi rakyat AS, islamofobia meningkat. Ranti mengalami ironi sekaligus pandangan lain di negeri Paman Sam itu.
Setelah mengalami penolakan dari rekruter di AU AS, akhirnya AU AS menerima Ranti. Seorang rekruter mengatakan hak Ranti dijamin oleh peraturan dari Kementerian Pertahanan AS (Departmen of Defence/DOD), DOD 13000.17 yang menjamin praktik keagamaan di angkatan bersenjata AS. Sang rekruter mengatakan hijab bukan menjadi masalah.
“Peraturan DOD itu turun karena dulu ada seorang kapten Yahudi yang memakai yarmulka (penutup kepala pria Yahudi). Nah bila yarmulka masuk ke semua peraturan itu, sekarang ada masalah jilbab yang muncul. Saya melihat poin DOD itu semuanya masuk, aman, bahwa jilbab tak mengganggu keamanan dan aktivitas,” jelasnya seraya menyebutkan kini pun para pria sikh pun bisa menggunakan sorban di kepala.
Namun, jaminan sang rekruter yang mengatakan jilbab tak masalah ternyata jauh berbeda dalam praktiknya di lapangan. Saat itu pasca 9/11 pada 2001, islamofobia dan stigma Islam adalah agama kekerasan masih melekat kuat di benak warga AS, baik di kalangan sipil maupun militer.
“Niat pemerintah mengakomodasi, tapi interpretasi di lapangan itu agak sulit. Kalau melihat kembali, pengalaman mengakomodasi jilbab ini AS baru berusaha karena masih ada trauma nasional 9/11. Saya masuk setelah 9/11, misinterpretasi di AS itu masih banyak sekali. Saat 9/11, media menampilkan di beberapa bagian di dunia muslim malah bergembira ria, padahal saya saat itu sangat sedih sekali. Pada titik itu saya bisa mengerti mengapa mereka berhati-hati,” jelas perempuan kelahiran Bogor, 1 April 1972 ini.
Pandangan berbeda sudah dia terima sejak mendaftar ulang di AU AS di Lanud Maxwell, Montgomerry, Alabama. Ranti yang berjilbab ditemani suaminya untuk melakukan daftar ulang. Saat itu Ranti sudah diterima di AU AS, sebagai dokter gigi tentara berpangkat kapten.
Pengalaman menjadi dokter di AU AS itu itu berakhir pada September 2004. Setelah perjuangan selama 14 bulan melawan diskriminasi di AU AS, Ranti akhirnya mundur. Ranti menyadari betul itu merupakan bagian dari melakukan usahanya sebagai hamba Allah SWT di dunia. Sementara dalam hati, kata dia, kita berserah diri sepenuhnya kepada Sang Khalik.
Kini, Ranti menjadi seorang dokter gigi sipil dan berpraktik di Philadelphia. Tetapi, diskriminasi belum berarti usai di dunia sipil. Namun, dukungan kuat dari suami itu diakuinya sangat membantu untuk menjalani semua ujian sebagai sorang muslimah sejati.[jul](inilah)
Pada masa Orde Baru, perempuan yang kini menjadi warga negara Amerika Serikat (AS) itu teringat pengalamannya saat menjadi siswa SMAN 1 Bogor. Saat itu, dia tersandung dengan aturan yang dikeluarkan sekolah.
“Dulu, peraturan seragam sekolah itu diatur oleh Depdikbud. Ada guideline sendiri terkait keseragaman tertentu yang harus dan wajib diikuti. Saat itu jilbab termasuk artikel tambahan. Makanya, jilbab saat itu dilarang pemerintah Orde Baru,” kata Ranti saat ditemui INILAH.COM pada acara bedah buku yang ditulisnya, In God We Trust: Merentang Hijab dari Indonesia sampai Amerika, di Masjid Salman ITB, Jalan Ganecha, Kota Bandung, Jumat (23/8/2013).
Perempuan kelahiran 1 April 1972 itu menceritakan, karena pelarangan tersebut, kasusnya naik hingga ke Pengadilan Bogor. Dengan bantuan orang tua dan sahabatnya yang senasib, Ranti dan kawan-kawan dibantu lembaga bantuan hukum menggugat sekolahnya ke pengadilan atas perlakuan yang tak adil itu.
Namun, belum tuntas permasalahan di meja hijau, wali kota Bogor saat itu mendamaikan antara pihaknya dan sekolah. Akhirnya, Ranti kembali masuk ke sekolah. Berdasarkan pengalamannya pada tahun 1980-90an itu, Ranti kini bisa tersenyum lebar. Sebab, kini tak ada lagi diskriminasi yang dialaminya tak ada lagi. Bahkan, dia senang melihat perempuan Indonesia sekarang bisa bebas menentukan pilihan untuk mengenakan jilbab.
Ujian hidupnya tak berakhir sampai di situ. Di kemudian hari, saat berkarier di United States Air Forces (USAF) diskriminasi serupa terjadi kembali. Ranti dilarang mengenakan jilbab saat menjadi tentara angkatan udara di negeri Paman Sam. Dia hijrah ke AS karena ikut suami, Richard Bennet yang menikah pada 1997.
Pilihan untuk pergi ke kampung halaman suaminya itu sesuatu yang logis. Sebab, katanya, saat itu di Indonesia sedang terjadi krisis moneter yang tidak memungkinkan untuk suaminya tinggal lebih lama di Indonesia. Dia menyebutkan, suaminya yang Muslim itu dulu pergi ke Indonesia sebagai seorang kandidat meraih PhD untuk regional economy di Cornell University.
“Setelah saya lulus dari Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Moestopo Beragama, saya mengikuti ujian persamaan di New York University. Usai lulus pendidikan kedokteran gigi itu saya program praktik residensi selama beberapa tahun. Dari beberapa klinik, saya memilih berpraktik di Lanud AU AS Maxwell, Alabama. Buat saya yang penting adalah further education, new graduate harus menjalani program residensi. Program di USAF itu bergengsi dan terbaik di AS. Itu yang saya pilih, education-nya itu,” tuturnya.
Di tempat barunya, Ranti kembali mengalami diskriminasi karena tak mau menanggalkan jilbabnya dalam seragam dinas tentara. Pengalaman sekolah semasa di Bogor terulang kembali. Ranti kali ini juga berupaya melawan diskriminasi.
Perjuangan Ranti tak mudah. Dia harus memberikan pengertian tentang jilbab dan keyakinannya sebagai kaum minoritas di AS, apalagi pascatragedi 11 September 2001 atau akrab dikenal 9/11. Peristiwa pengeboman gedung WTC itu memberikan trauma nasional bagi rakyat AS, islamofobia meningkat. Ranti mengalami ironi sekaligus pandangan lain di negeri Paman Sam itu.
Setelah mengalami penolakan dari rekruter di AU AS, akhirnya AU AS menerima Ranti. Seorang rekruter mengatakan hak Ranti dijamin oleh peraturan dari Kementerian Pertahanan AS (Departmen of Defence/DOD), DOD 13000.17 yang menjamin praktik keagamaan di angkatan bersenjata AS. Sang rekruter mengatakan hijab bukan menjadi masalah.
“Peraturan DOD itu turun karena dulu ada seorang kapten Yahudi yang memakai yarmulka (penutup kepala pria Yahudi). Nah bila yarmulka masuk ke semua peraturan itu, sekarang ada masalah jilbab yang muncul. Saya melihat poin DOD itu semuanya masuk, aman, bahwa jilbab tak mengganggu keamanan dan aktivitas,” jelasnya seraya menyebutkan kini pun para pria sikh pun bisa menggunakan sorban di kepala.
Namun, jaminan sang rekruter yang mengatakan jilbab tak masalah ternyata jauh berbeda dalam praktiknya di lapangan. Saat itu pasca 9/11 pada 2001, islamofobia dan stigma Islam adalah agama kekerasan masih melekat kuat di benak warga AS, baik di kalangan sipil maupun militer.
“Niat pemerintah mengakomodasi, tapi interpretasi di lapangan itu agak sulit. Kalau melihat kembali, pengalaman mengakomodasi jilbab ini AS baru berusaha karena masih ada trauma nasional 9/11. Saya masuk setelah 9/11, misinterpretasi di AS itu masih banyak sekali. Saat 9/11, media menampilkan di beberapa bagian di dunia muslim malah bergembira ria, padahal saya saat itu sangat sedih sekali. Pada titik itu saya bisa mengerti mengapa mereka berhati-hati,” jelas perempuan kelahiran Bogor, 1 April 1972 ini.
Pandangan berbeda sudah dia terima sejak mendaftar ulang di AU AS di Lanud Maxwell, Montgomerry, Alabama. Ranti yang berjilbab ditemani suaminya untuk melakukan daftar ulang. Saat itu Ranti sudah diterima di AU AS, sebagai dokter gigi tentara berpangkat kapten.
Pengalaman menjadi dokter di AU AS itu itu berakhir pada September 2004. Setelah perjuangan selama 14 bulan melawan diskriminasi di AU AS, Ranti akhirnya mundur. Ranti menyadari betul itu merupakan bagian dari melakukan usahanya sebagai hamba Allah SWT di dunia. Sementara dalam hati, kata dia, kita berserah diri sepenuhnya kepada Sang Khalik.
Kini, Ranti menjadi seorang dokter gigi sipil dan berpraktik di Philadelphia. Tetapi, diskriminasi belum berarti usai di dunia sipil. Namun, dukungan kuat dari suami itu diakuinya sangat membantu untuk menjalani semua ujian sebagai sorang muslimah sejati.[jul](inilah)