dakwatuna.com - Muhasabah
adalah sarana untuk menghisab diri di dunia. Generasi sahabat biasa
melakukan muhasabah diri di waktu-waktu yang mereka punya, di kala
bangun tidur, di kala mau tidur, setelah shalat, setelah makan dan
kesempatan lainnya. Salah satu cara sahabat melakukan muhasabah ialah
merasakan kenikmatan Islam dengan mengingat diri mereka yang dahulu
berada di kejahiliyahan. Umar bin Khattab RA pernah tersenyum-senyum
sendiri di saat sedang melakukan muhasabah karena Umar bin Khattab
pernah memakan patung Tuhannya dulu di masa kejahiliyahan. Umar bin
Khattab RA tersenyum karena begitu jahilnya dia dahulu sebelum masuk
Islam, kita sendiri bisa bayangkan betapa “lucunya” sebuah “Tuhan” bisa
dibuat dan bisa dimakan oleh diri kita sendiri, begitulah Umar bin
Khattab RA dia yang membuat Tuhan dari tepung gandum, di saat dia lapar
dia sendiri yang memakan “Tuhannya”.
Generasi sahabat melakukan
muhasabah dengan mengingat kejahiliyahan ialah dengan maksud betapa luar
biasa nikmat, karunia, rahmat yang Allah berikan kepada mereka yaitu
Islam. Islam telah menunjukkan kesadaran yang mendalam bagi sahabat Umar
bin Khattab RA akan Tuhan semesta alam ialah Allah SWT. Islam pula yang
telah menjadikan generasi sahabat yang tak hanya Umar bin Khattab
menjadi generasi terbaik sepanjang masa yang tidak ada penggantinya.
Saudaraku,
tulisan di atas adalah pengantar untuk mengajak diri kita bersama,
kader tarbiyah sebagai aktivis dakwah untuk merefleksikan diri tentang
“siapa diri kita dahulu”? Sebenarnya tulisan ini adalah hasil pengamatan
dari fenomena berjalannya dakwah di kampus oleh kader tarbiyah.
Banyak
yang lupa akan dirinya ketika “kita” telah menjadi tokoh di lingkungan.
Banyak pula yang lupa akan dirinya ketika “kita” sudah punya wawasan
dan kemampuan berpikir yang luas akan hal Islam, politik, dakwah,
ekonomi, pergerakan, fenomena umat, dan lainnya. Banyak pula yang lupa
ketika “kita” sudah mengetahui kebaikan dan kekurangan jamaah ini.
Banyak pula yang lupa di saat “kita” sudah punya kapasitas keilmuan,
komunikasi, financial, dan kapasitas diri yang lain. Banyak pula yang
lupa ketika “kita” telah banyak mendapatkan keuntungan yang banyak
sekali di saat “kita” berada dalam barisan ini.
Lupa apanya? Lupa
dari mana kita dibesarkan. Lupa dari mana kondisi dan lingkungan apa
kita banyak belajar. Lupa siapa yang menyambut diri kita dengan ukhuwah,
lupa siapa menempatkan diri kita melebihi orang lain. Bertanya kepada
diri kita, kenapa saya bisa terkenal? Kenapa saya bisa tahu banyak hal
tentang Islam, politik, dakwah, ekonomi, berwawasan? Kenapa saya bisa
mendapatkan amanah, kenapa saya bisa tampil bicara di depan publik?
Kenapa saya bisa mengetahui ukhuwah dan memiliki kenalan, memiliki
saudara yang banyak?
Siapa dahulu kita? Seorang yang tidak kenal
apa itu Islam, seorang yang tidak tahu apa itu pergerakan. Siapa dahulu
kita? Seorang yang tidak tau persaudaraan itu seperti apa, seorang yang
tidak terkenal, seorang yang tidak apa itu dakwah, bagaimana caranya?
Seorang yang tidak bisa memimpin, seorang yang tidak berani tampil di
publik, seorang yang tidak berkapasitas.
Begitu banyak di antara
“kita” yang telah menjadi “mereka”. Mereka berseberangan dengan kita di
saat mereka sudah mendapatkan keterkenalan, ketika mereka sudah mendapat
keuntungan yang amat banyak pada diri mereka, tetapi hanya karena
kecewa akan suatu hal, mereka berseberangan bahkan memusuhi kita. Mereka
membongkar aib-aib kita, mereka mencaci-caci kita, memberi tahu ke
public strategi-strategi dakwah, opini-opini gelap, lalu mereka buat
barisan yang isinya hanya bentuk kekecewaan terhadap barisan ini. Apa
yang mereka kecewakan? Mereka kecewa ketika di antara kita ada yang
melakukan kesalahan, mereka kecewa ketika mereka harus mengalah dalam
hal jabatan, seolah-olah jamaah menyingkirkannya, seolah-olah jamaah
tidak memperdayakannya, mereka kecewa ketika teladan mereka tidak sesuai
idealitas mereka, mereka kecewa hanya karena di antara kita kurang
memperhatikannya. Mereka hina dan pojokkan ustadz, mereka tidak mau
menggunakan ilmu yang disampaikan oleh ustadz yang ada kaitannya dengan
barisan “kita”, padahal ulama mereka adalah ulama kita dan ulama kita
adalah ulama mereka, yang menyedihkan mereka bangga menggunakan
pendapat-pendapat orang yang bukan berasal dari Islam. Memang kita
berdakwah untuk jabatan? Memang kita berdakwah karena ingin perhatian
orang? Memang kita berdakwah karena ustadz?
Sedih rasanya, melihat
mereka yang dahulu satu lingkaran bersama kita saat ini menjadi
berseberangan bahkan tidak berdakwah. Sedih rasanya, melihat mereka yang
dahulu bersama kita berdakwah sudah tidak berdakwah. Sedih rasanya,
karena mereka yang harus kita hadapi.
Ingat ini barisan manusia
bukan barisan malaikat tetapi barisan ini adalah barisan manusia yang
punya azzam yang sangat kuat menjadi barisan yang malaikat pun menangis,
yang malaikat pun memohonkan ampunan dan berdoa, malaikat pun malu
kepada barisan ini. Memang bisa jadi “kita dan mereka” menjadi besar
karena dirinya sendiri, memang semuanya berasal dari Allah, tetapi
lingkaran ini, barisan ini dimana kita dan mereka juga dibesarkan.
Orang
yang ada di dalam barisan ini belum tentu adalah kita dan orang yang
ada di luar kita bisa jadi mereka adalah kita. Orang yang banyak kecewa
pastilah dia akan kecewa lagi, begitu pula dengan barisan yang berisikan
orang-orang yang pernah kecewa, tidak berarti di dalam barisan itu
tidak ada kekecewaan, bahkan bisa pasti di dalam barisan itu mereka juga
akan menemukan sebuah kekecewaan.
Kecewa karena dunia mengantarkan diri ini jauh dari agama, dan tak ada kecewa karena akhirat.
Siapa kita dahulu?
Wallahu a’lam.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/05/20207/refleksi-kader-tarbiyah-mengingat-siapa-kita-dahulu/#ixzz1vGq5F1WG